Masalah kependedukan semakin menjadi perhatian serius Singapura. Sebagai
negara kecil dengan luas hanya 700 kilometer persegi dan berpenduduk
5,18 juta jiwa, perekonomian Singapura mulai booming pasca tahun 1965.
Singapura bahkan menjadi Macan Asia. Namun setelah mengalami pertumbuhan
pesat, Singapura kini mulai menghadapi kemerosotan akibat masalah
kependudukan.
Singapura semula menikmati yang disebut
sebagai demographic devidend, yaitu pertumbuhan pesat ketika
pertumbuhan penduduk melambat. Mulai dari tahun 1990-an, Singapura terus
mengatur kebijakan untuk mengendalikan periode "keberuntungan
demografi" ini . Ekonom senior Singapura, Profesor Tan Kong Yam selalu
menaruh perhatian pada hubungan antara struktur populasi dan pertumbuhan
ekonomi jangka panjang. Dia mengatakan, kemajuan ekonomi berhubungan
erat dengan kondisi demografi Singapura. Singapura menikmati
keberuntungan karena kondisi demografi pada kurun akhir 1970-an sampai
awal 1990-an.
Profesor Tan Kong Yam berpendapat, pada
pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, angka kelahiran
menurun sampai 2,1. Namun, jumlah penduduk masih bertambah karena
banyaknya angkatan muda. Tetapi pada awal 1990-an, kondisi ini berbalik.
Tekanan penduduk usia lanjut semakin besar terhadap demografi
Singapura.
Seperti negara-negara yang mengalami masalah
kependudukan lainnya, Singapura juga menghadapi masalah kekurangan
tenaga kerja dan beban penduduk usia lanjut. Demografi Singapura
mengalami perubahan struktur penduduk tenaga kerja. Cara yang diambil
Singapura untuk memacu pertumbuhan penduduk tidak berhasil, sehingga
pemerintah Singapura mengambil cara imigrasi selektif. Profensor Tan
Kong Yam mengatakan, basis populasi Singapura tidak besar, sehingga
setiap tahun hanya memerlukan 3 sampai 4 ribu imigran teknis. Dengan
demikian, Singapura masih bisa memperpanjang periode "keberuntungan
demografi".
Profesor Tan Kong Yam berpendapat, "Ada dua cara
untuk menyelesaikan masalah pekerja asing. Pertama adalah pekerja
sementara, misalnya buruh konstruksi atau pembantu rumah tangga dengan
kontrak selama 2-3 tahun, biasanya tidak menetap lama di Singapura. Yang
kedua adalah imigran teknis, dengan pendidikan relatif tinggi atau
memiliki keterampilan spesial. Kategori pekerja ini dapat menetap
permanen, dan akan menjadi jalur utama untuk menyelesaikan masalah
ketenagakerjaan dan penuaan demografi."
Kebijakan imigrasi
selektif sangat efektif. Kebijakan ini berhasil menyelesaikan masalah
kekurangan tenaga kerja di Singapura. Sementara itu, imigran teknis usia
muda telah membangkitkan pertumbuhan Singapura.
Masalah tenaga
kerja telah mendorong pertumbuhan ekonomi Singapura, sedangkan
pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan daya saing nasional. Apalagi,
Singapura menggunakan bahasa Inggris, sehingga Singapura menarik banyak
tenaga terampil dari seluruh dunia.
Dalam evaluasi daya saing Asia yang terbaru, Singapura menempati urutan pertama, naik dari peringkat ke-4 tahun lalu.
Namun pertumbuhan ekonomi yang cepat belum melegakan hati pemimpin
Singapura. Kebanjiran imigran baru telah membawa sejumlah masalah
sosial. Selama pemilu Singapura pada Mei 2011, perolehan suara Partai
Aksi Rakyat yang berkuasa menurun sampai titik terendah dalam sejarah.
Profesor Tan Kong Yam mengatakan,
"Pertumbuhan penduduk
Singapura terlalu lamban, pemerintah perlu menyelesaikan masalah
kekurangan tenaga kerja sejumlah 30-60 ribu setiap tahun, namun
kebanjiran imigran mengakibatkan kenaikan harga rumah dan kemacetan lalu
lintas. Warga biasa menganggap dirinya orang Singapura, namun Singapura
seolah-olah bukan tanah air mereka lagi."
Sementara itu, untuk
stabilitas politik dan sosial, Singapura menganjurkan para perempuan
kembali bekerja setelah anaknya dewasa. Pemerintah juga mendorong orang
lanjut usia untuk menunda waktu pensiun. Perusahaan juga diimbau untuk
tidak memutuskan hubungan kerja dengan pekerja yang berusia 40-50 tahun
yang kurang berpendidikan. Pemerintah juga menyediakan tunjangan
pelatihan demi mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing.
Perubahan kebijakan itu untuk sementara mengatasi keluhan warga
Singapura karena persaingan tenaga kerja asing. Profesor Tan Kong Yam
mengatakan, tidak ada satu pun cara yang selalu mujarab, sehingga mereka
perlu menemukan keseimbangan dalam kestabilan sosial dan politik
seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Solusi lainnya adalah melambatkan
laju pertumbuhan ekonomi, mengurangi impor tenaga kerja, dan mengalihkan
bisnis ke luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar