Kamis, 19 April 2012

masalah sosial di singapur

Masalah kependedukan semakin menjadi perhatian serius Singapura. Sebagai negara kecil dengan luas hanya 700 kilometer persegi dan berpenduduk 5,18 juta jiwa, perekonomian Singapura mulai booming pasca tahun 1965. Singapura bahkan menjadi Macan Asia. Namun setelah mengalami pertumbuhan pesat, Singapura kini mulai menghadapi kemerosotan akibat masalah kependudukan.

Singapura semula menikmati yang disebut sebagai demographic devidend, yaitu pertumbuhan pesat ketika pertumbuhan penduduk melambat. Mulai dari tahun 1990-an, Singapura terus mengatur kebijakan untuk mengendalikan periode "keberuntungan demografi" ini . Ekonom senior Singapura, Profesor Tan Kong Yam selalu menaruh perhatian pada hubungan antara struktur populasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dia mengatakan, kemajuan ekonomi berhubungan erat dengan kondisi demografi Singapura. Singapura menikmati keberuntungan karena kondisi demografi pada kurun akhir 1970-an sampai awal 1990-an.

Profesor Tan Kong Yam berpendapat, pada pertengahan tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, angka kelahiran menurun sampai 2,1. Namun, jumlah penduduk masih bertambah karena banyaknya angkatan muda. Tetapi pada awal 1990-an, kondisi ini berbalik. Tekanan penduduk usia lanjut semakin besar terhadap demografi Singapura.

Seperti negara-negara yang mengalami masalah kependudukan lainnya, Singapura juga menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja dan beban penduduk usia lanjut. Demografi Singapura mengalami perubahan struktur penduduk tenaga kerja. Cara yang diambil Singapura untuk memacu pertumbuhan penduduk tidak berhasil, sehingga pemerintah Singapura mengambil cara imigrasi selektif. Profensor Tan Kong Yam mengatakan, basis populasi Singapura tidak besar, sehingga setiap tahun hanya memerlukan 3 sampai 4 ribu imigran teknis. Dengan demikian, Singapura masih bisa memperpanjang periode "keberuntungan demografi".

Profesor Tan Kong Yam berpendapat, "Ada dua cara untuk menyelesaikan masalah pekerja asing. Pertama adalah pekerja sementara, misalnya buruh konstruksi atau pembantu rumah tangga dengan kontrak selama 2-3 tahun, biasanya tidak menetap lama di Singapura. Yang kedua adalah imigran teknis, dengan pendidikan relatif tinggi atau memiliki keterampilan spesial. Kategori pekerja ini dapat menetap permanen, dan akan menjadi jalur utama untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dan penuaan demografi."

Kebijakan imigrasi selektif sangat efektif. Kebijakan ini berhasil menyelesaikan masalah kekurangan tenaga kerja di Singapura. Sementara itu, imigran teknis usia muda telah membangkitkan pertumbuhan Singapura.

Masalah tenaga kerja telah mendorong pertumbuhan ekonomi Singapura, sedangkan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan daya saing nasional. Apalagi, Singapura menggunakan bahasa Inggris, sehingga Singapura menarik banyak tenaga terampil dari seluruh dunia.

Dalam evaluasi daya saing Asia yang terbaru, Singapura menempati urutan pertama, naik dari peringkat ke-4 tahun lalu.

Namun pertumbuhan ekonomi yang cepat belum melegakan hati pemimpin Singapura. Kebanjiran imigran baru telah membawa sejumlah masalah sosial. Selama pemilu Singapura pada Mei 2011, perolehan suara Partai Aksi Rakyat yang berkuasa menurun sampai titik terendah dalam sejarah. Profesor Tan Kong Yam mengatakan,

"Pertumbuhan penduduk Singapura terlalu lamban, pemerintah perlu menyelesaikan masalah kekurangan tenaga kerja sejumlah 30-60 ribu setiap tahun, namun kebanjiran imigran mengakibatkan kenaikan harga rumah dan kemacetan lalu lintas. Warga biasa menganggap dirinya orang Singapura, namun Singapura seolah-olah bukan tanah air mereka lagi."

Sementara itu, untuk stabilitas politik dan sosial, Singapura menganjurkan para perempuan kembali bekerja setelah anaknya dewasa. Pemerintah juga mendorong orang lanjut usia untuk menunda waktu pensiun. Perusahaan juga diimbau untuk tidak memutuskan hubungan kerja dengan pekerja yang berusia 40-50 tahun yang kurang berpendidikan. Pemerintah juga menyediakan tunjangan pelatihan demi mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing.

Perubahan kebijakan itu untuk sementara mengatasi keluhan warga Singapura karena persaingan tenaga kerja asing. Profesor Tan Kong Yam mengatakan, tidak ada satu pun cara yang selalu mujarab, sehingga mereka perlu menemukan keseimbangan dalam kestabilan sosial dan politik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Solusi lainnya adalah melambatkan laju pertumbuhan ekonomi, mengurangi impor tenaga kerja, dan mengalihkan bisnis ke luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar